SELAMAT DATANG

INILAH KARYA ANAK BANGSA

SEARCH

Daftar Blog Saya

  • Tugas Pemrograman Jaringan - *Nama : Rigi Martusi* *Kelas : 4IA16* *NPM : 50408723* *Tugas D1-1* import java.net.*; public class getIP{ public static void main(String args[]) throws ...
    12 tahun yang lalu
19.27

Website Agriculture ( Pertanian ) di Indonesia




Gambar diatas merupakan salah satu contoh website mengenai Agriculture (Pertanian) yang ada di Indonesia. Isi web ini menjelaskan tentang perkembangan atau kemajuan mengenai pertanian di Indonesia. Web ini bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Untuk lebih jelasnya mengenai web agriculture ini dapat anda kunjungi melalui alamat atau link : http://www.deptan.go.id/index1.php


00.55

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Ekonomi RakyatTanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Ekonomi Rakyat

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Ekonomi Rakyat

Oleh: Heka Hertanto (Direktur Eksekutif Artha Graha Peduli dan Direktur PT Sumber Alam Sutera - A Member of Artha Graha Network)
Dalam dekade 1990-an hingga awal 2000-an isu mengenai penerapan “Corporate Social Responsibilty/CSR” atau “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” telah berkembang menjadi diskursus yang penting antara pemerintah, perusahaan-perusahaan besar dan masyarakat sipil. Perkembangan diskursus tersebut dilatarbelakangi oleh meningkatnya tekanan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.
Tekanan yang berasal dari masyarakat dan pemerintah mendesak agar terjadi keseimbangan antara orientasi bisnis dengan kepedulian atas kondisi sosial dan lingkungan. Tentu saja tekanan yang muncul sangat berkaitan dengan keberagaman kepentingan yang melatarbelakanginya. Tetapi terdapat satu kesamaan mendasar dari kepentingan-kepentingan tersebut, yaitu adanya pertanggungjawaban perusahaan atas segala aktivitas bisnisnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Diskusus yang berkembang akhirnya mengerucut pada tiga kelompok pemikiran yang masing-masing kelompok mendasarkan pemikirannya pada pengalaman dan praktik-praktik CSR yang berlangsung selama ini. Tiga kelompok pemikiran tersebut adalah, pertama, kelompok Neo-liberal yang memfokuskan pandangannya tentang CSR sebagai inisiatif melaksanakan CSR yang datang dari perusahaan sendiri berdasarkan pada kondisi risiko bisnis dan penghargaan publik terhadap kegiatan CSR yang telah dilaksanakan.
Kelompok kedua yang disebut dengan kelompok State Led memusatkan pemikirannya pada peranan negara dan pemerintah di tingkat nasional maupun internasional dalam menjalankan program-program CSR melalui penerapan regulasi-regulasi dan kerjasama baik unilateral maupun multilateral.  Sedangkan kelompok ketiga yang disebut dengan kelompok Jalur Ketiga memfokuskan pemikirannya pada peranan organisasi-organisasi nirlaba maupun berorientasi pada profit dalam melaksanakan program-program CSR.
Pemikiran dari tiga kelompok tersebut masing-masing mengandung kelemahannya sendiri-sendiri, terutama bila dikaitkan dengan proses pembangunan secara luas. Pemikiran kelompok Neo-liberal misalnya, dinilai gagal untuk menyelesaikan masalah misalokasi sumber-sumber daya produksi yang disebabkan oleh pelaksanaan program-program CSR. Sedangkan pemikiran kelompok State Led dinilai gagal dalam mendorong munculnya dukungan politik dari pemerintah maupun parlemen dibalik keterlibatan atau peran pemerintah tersebut. Sedangkan pemikiran kelompok Jalur Ketiga dipandang gagal dalam mendorong berkembangnya inisiatif pribadi untuk terlibat secara langsung dalam pelaksanaan program-program CSR. 
Di Indonesia sendiri, tiga kelompok pemikiran tersebut masing-masing sempat dan telah berkembang dengan variasinya sendiri-sendiri. Pada masa pemerintahan Orde Baru misalnya, kelompok pemikiran State Led sempat mencuat dan berkembang. Pemerintahan ketika itu, sempat mengeluarkan Inpres yang mengharuskan setiap badan usaha milik negara (BUMN) untuk menyisihkan 2% dari laba usahanya untuk dialokasikan dalam program-program CSR. Program CSR di lingkungan BUMN tersebut dikenal dengan berbagai istilah, mulai program kemitraan, bina mitra lingkungan, dan PKBL.
Peranan pemerintah rezim Orde Baru dalam mendorong implementasi CSR juga menyentuh sektor swasta, terutama kelompok usaha konglomerasi yang mendominasi aktivitas bisnis di tanah air. Beberapa kali kelompok-kelompok usaha besar dikumpulkan dan dihimbau untuk menyisihkan sebagian keuntungannya atau menyediakan anggaran khusus untuk program-program CSR.  Dominasi pemikiran State Led semakin kukuh dengan disahkannya Undang-undang Perseroan Terbatas tahun 2007 lalu, di mana pada pasal 74 mengharuskan perusahaan—khususnya yang bergerak di bidang pertambangan-- menerapkan CSR serta menyediakan anggaran khusus untuk pembiayaan program-program CSR.

DEFINISI DAN MANFAAT CSR :
Dalam 38 tahun terakhir, telah banyak perusahaan multinasional di negara-negara Uni Eropa (UE) yang menyadari bahwa CSR merupakan petunjuk yang sangat rasional dalam melakukan aktivitas bisnis. Sebagai contoh, dalam laporan tahunannya Siemens AG secara khusus menegaskan komitmen globalnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial di seluruh wilayah opersinya.  Pada tahun 2001, di Eropa satu dolar dari setiap delapan dolar dana investasi masyarakat profesional yang ditempatkan pada perusahaan dana pensiun, reksadana, dan yayasan-yayasan telah diinvestasikan pada lembaga-lembaga penyelenggara CSR. Angka perbandingan ini telah jauh lebih baik dibandingkan kondisi pada tahun 1995, di mana investasi sosial ini baru terjadi pada satu dolar dari setiap 10 dolar investasi masyarakat profesional.

Di sisi lain, pemerintah negara-negara Eropa baik secara sendiri-sendiri maupun secara multilateral telah mengembangkan berbagai kebijakan yang luas untuk mengatur serta mendorong penerapan CSR. Dan sebagai hasilnya, saat ini pemerintahan maupun para eksekutif perusahaan di negara-negara Eropa telah melihat manfaatnya terhadap efektivitas pengelolaan perusahaan.
Pengalaman di Eropa menunjukkan bahwa melalui CSR perusahaan-perusahaan dapat lebih efektif mengelola dampak sosial dan lingkungan terhadap masyarakat lokal dan lingkungan alam di mana perusahaan itu beroperasi, maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, juga berkembang kenyataan bahwa masyarakat akan memberikan penghargaan atas kinerja perusahaan dalam mewujudkan kepedulian dan tanggung jawabnya  terhadap lingkungan sosial dan lingkungan alam.  

Dari berbagai pengalaman yang berkembang selama ini, praktik-praktik CSR umumnya berdasarkan pada nilai-nilai etis dan penghargaan perusahaan terhadap keberadaan serta peranan seluruh tenaga kerja, masyarakat, lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Karena itu, seringkali CSR dapat dijelaskan sebagai, “Pengambilan keputusan bisnis yang dikaitkan secara langsung dengan nilai-nilai etis, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta penghargaan atas keberadaan dan peranan tenaga kerja, masyarakat,  dan lingkungan.”
Mengacu pada praktik serta pengalaman penerapan CSR, definisi lain mengenai CSR yang digagas oleh Holmes dan Watts cukup representatif untuk menjelaskan maksud CSR sebagai suatu, “Komitmen perusahaan yang berkelanjutan untuk selalu bertindak etis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi sembari meningkatkan kualitas hidup para karyawan dan keluarganya, komunitas lokal maupun masyarakat luas.”

Berdasarkan dua definisi tersebut, maka pada dasarnya tujuan utama suatu perusahaan --yang selama ini diyakini—semata-mata untuk meningkatkan nilai keuntungan pemegang saham tidak lagi sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebab  tujuan utama tersebut dapat berakibat pada pengabaian eksistensi para pemangku kepentingan (stakeholders) lain terutama karyawan, masyarakat lokal, bangsa dan negara, kepentingan lingkungan, maupun generasi selanjutnya.
Konsep CSR bertujuan untuk menjelaskan bagian tanggung jawab perusahaan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, sehingga konsep pembangunan berkelanjutan menjadi dasar pijakannya. Konsep ini menegaskan betapa pentingnya peranan CSR sebagai perpanjangan tangan perusahaan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan pada suatu negara. Dengan sendirinya agar keberlangsungan pembangunan dapat terjaga maka desain program-program CSR juga harus bersifat berkelanjutan, tidak parsial. Program CSR yang berkelanjutan jelas membutuhkan ketegasan komitmen dari perusahaan serta seluruh stakeholder untuk mengawal perjalanannya.

Karena itulah Bank Dunia menyebutkan, CSR sebagai media atau sarana untuk mewujudkan pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat lokal, penanggulangan bencana alam, maupun pelestarian lingkungan yang dapat dilakukan bersama-sama pemerintah. Dengan demikian, pada dasarnya setiap perusahaan memiliki kewajiban sosial yang luas dan selalu melekat pada setiap aktivitas bisnisnya.

Tanggung jawab sosial tersebut tidak lepas dari keberadaan perusahaan yang tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial masyarakat lokal maupun lingkungan alam. Rusaknya kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan alam dapat dipastikan akan mengganggu bahkan menghentikan proses produksi perusahaan, dan pada akhirnya akan menggagalkan maksimalisasi nilai keuntungan bagi para pemegang saham perusahaan itu sendiri.

Kegagalan perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya dapat pula diartikan sebagai kegagalan dalam mencapai maksimalisasi nilai ekonomi perusahaan bagi pemegang saham, negara, dan masyarakat luas. Manfaat ekonomi dari keberadaan  suatu perusahaan hanya akan berlangsung sesaat dan dirasakan secara sempit hanya oleh pemegang saham, sementara akibat negatif dari keberadaan perusahaan terhadap alam, lingkungan, masyarakat dan negara akan berlangsung sangat lama dan luas.

Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social security).   Selain itu melalui CSR  perusahaan juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan.

Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa CSR berbeda dengan charity atau sumbangan sosial. CSR harus dijalankan di atas suatu program dengan memerhatikan kebutuhan dan keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sementara sumbangan sosial lebih bersifat sesaat dan berdampak sementara, sehingga bisa diibaratkan hanya sebagai pelipur lara. Semangat CSR diharapkan dapat mampu membantu menciptakan keseimbangan  antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Pada dasarnya tanggung jawab sosial  perusahaan ini diharapkan dapat kembali menjadi budaya bagi bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia dalam kebersamaan mengatasi masalah sosial dan lingkungan.

Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara berkelanjutan, pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan baku produksi yang diambil dari alam.

Kesejahteraan masyarakat akan mendorong peningkatan daya beli, sehingga memperkuat daya serap pasar terhadap output perusahaan. Sedangkan kelestarian faktor-faktor produksi serta kelancaran proses produksi yang terjaga akan meningkatkan efisiensi proses produksi. Dua faktor tersebut akan meningkatkan potensi peningkatan laba perusahaan, dan dengan sendirinya meningkatkan kemampuan perusahaan mengalokasikan sebagian dari keuntungannya untuk membiayai berbagai aktivitas CSR di tahun-tahun berikutnya.

Manfaat penerapan CSR yang dilaksanakan dengan berlandaskan pada nilai-nilai etis telah banyak dinikmati oleh berbagai perusahaan multinasional dari negara-negara Eropa. Kesediaan perusahaan-perusahaan multinasional dari Eropa untuk menerapkan CSR atas inisiatif sendiri telah membantu menciptakan deferensiasi pasar atas para pesaing mereka dari Jepang maupun AS. Selain itu juga menunjang upaya perusahaan dalam mengelola tenaga kerja, menjaga kesetiaan konsumen, mewujudkan kekuatan merek, mengurangi biaya-biaya menjadi lebih rendah, menekan risiko sosial dan bisnis, serta membangun kredibilitas usaha di mata publik maupun investor saham.

Karena itu para eksekutif perusahaan multinasional di Eropa semakin yakin bahwa perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang semakin kuat  akan mampu meraih kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki kepedulian atas tanggung jawab sosialnya. Adidas, Nestle, dan Volkswagen hanya merupakan sedikit contoh perusahaan multinasional dari Eropa yang berhasil memanfaatkan CSR untuk  pengembangan jaringan bisnisnya.

Hal ini sejalan dengan penelitian di Bursa Efek Jakarta terhadap emiten-emiten yang melaksanakan program-program CSR menunjukkan, kegiatan CSR ternyata berbanding positif terhadap kinerja perusahaan dan imbal hasil saham. Karena CSR terdiri dari rangkaian program yang memperhatikan kepentingan seluruhstakeholder perusahaan dalam jangka panjang, dengan demikian CSR tidak dapat dipandang sebagai beban sosial melainkan justru menjadi investasi sosial perusahaan.

Sebab dalam jangka panjang manfaat positif dari program CSR yang berkelanjutan akan menunjang aktivitas bisnis perusahaan. Manfaat jangka panjang ini meningkatkan keyakinan para investor di bursa efek atas prospek perusahaan di masa mendatang. Prospek yang positif dengan sendirinya meningkatkan kemungkinan dan peluang naiknya nilai investasi di bursa efek yang dilakukan saat ini.

MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN REGULASI:
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan.

Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka  modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial.

Dalam jangka panjang, pemupukan modal sosial tersebut akan memberikan manfaat positif bagi perusahaan maupun masyarakat secara umum. Harmonisasi hubungan perusahaan dengan masyarakat akan terlihat dari keserasian kehidupan sosial di lingkungan sekitar aktivitas perusahaan. Selain itu akan terbangun kohesifitas yang sangat kuat antara perusahaan dengan masyarakat. Kohesifitas yang kuat akan memunculkan kolaborasi sosial yang erat antara perusahaan dengan masyarakat. Sehingga, masyarakat akan merasakan kepentingannya terusik apabila keberadaan perusahaan mendapatkan gangguan atau masalah.

Pemupukan modal sosial tersebut juga dapat membantu mempercepat perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Harmonisasi hubungan sosial perusahaan dengan masyarakat dapat terwujud bila perusahaan dapat secara langsung maupun tidak langsung menikmati manfaat ekonomi dari keberadaan perusahaan. Dalam konteks ini, apabila program CSR dapat secara riel meningkatkan kualitas modal sosial, maka dapat diartikan pula bahwa telah terjadi perbaikan kondisi perekonomian masyarakat.

Sebagai salah satu elemen yang dapat menjadi faktor utama pembentuk modal sosial, perusahaan dengan program-program CSR-nya jelas tidak berdiri sendiri. Bagaimanapun, modal sosial tidak hanya dibentuk oleh faktor tunggal atau pelaku tunggal. Harus ada partisipasi aktif dari berbagai elemen lain yang keberadaannya mempengaruhi pembentukan dan pemupukan modal sosial tersebut. Kolaborasi sosial dari berbagai pihak yang terjadi secara simultan dan berkelanjutan akan memungkinkan terbentuknya modal sosial yang solid dan lestari.

Agar peran CSR dalam membentuk modal sosial dapat berlangsung secara efektif, maka diperlukan peran pemerintah untuk mempengaruhi secara positif tumbuhnya kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial, dalam suatu komunitas. Modal sosial yang tumbuh dan berkembang dengan baik akan mempercepat keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan kesejahteraan.

Pengaruh dari pemerintah tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun fasilitas atau insentif tertentu yang dapat mendorong perusahaan untuk  meningkatkan perannya dalam memupuk modal sosial melalui CSR.
Dengan demikian, ketika CSR diwajibkan dengan regulasi, maka regulasi itu menyatakan keberlakuan konsep pembangunan berkelanjutan. Karenanya, regulasi lain yang diberlakukan terhadap perusahaan haruslah ditimbang ulang apakah sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau tidak. Agar pembangunan di Indonesia dapat berjalan menuju pembangunan yang ramah ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus, maka regulasi yang berkenaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil juga harus ditimbang dengan konsep yang sama.       
   
Kolaborasi dan harmonisasi peraturan pemerintah dengan program-program CSR yang saling mendukung dan dalam koridor konsep “Pembangungan Berkelanjutan” akan melahirkan sinergi yang kuat bila dilaksanakan secara konsisten disertai dengan ketegasan law enforcement. Hasil dari sinergi tersebut berupa tumbuhnya modal sosial yang semakin kuat dari hari ke hari. CSR tidak akan memberikan arti yang optimal tanpa dukungan pemerintah secara nyata dan peran serta aktif dari masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat notabene merupakan komponen dalam modal sosial yang sangat penting dan menjadi kunci suksesnya pelaksanaan program-program CSR.

Dengan demikian antara CSR dan modal sosial terdapat hubungan dua arah yang bersifat kausalitas dan saling mempengaruhi. Sedangkan pengaruh pemerintah yang antara lain dapat berupa peraturan/regulasi lebih bersifat sebagai katalisator yang berfungsi untuk mempercepat proses senyawa antara CSR dan modal sosial tersebut. Dalam prosesnya, sebenarnya juga terdapat akses pengaruh bagi perusahaan dan masyarakat dalam penyusunan regulasi berkaitan dengan CSR. Perusahaan sebagai agen pelaksana pembangunan berkelanjutan melalui program-program CSR dapat mempengaruhi penyusunan regulasi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan masyarakat sebagai sumber modal sosial yang berkepentingan atas pelaksanaan program-program CSR juga dapat mempengaruhi penyusunan regulasi maupun menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan regulasi tersebut.

Keterlibatan perusahaan dan masyarakat dalam mempengaruhi penyusunan regulasi dapat dilakukan melalui konsultasi publik. Konsultasi publik ini lebih bersifat dua arah, sehingga memungkinkan terjadinya dialog interaktif antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Sebab konsultasi publik merupakan proses yang berbasiskan kesetaraan pemangku kepentingan dan bersifat dua –atau bahkan multi arah--, berbeda dengan sosialisasi yang timpang dan searah.
Sosialisasi merupakan bentuk komunikasi yang lebih bersifat satu arah, dan dilakukan setelah regulasi selesai dibuat dan ditetapkan berlakunya. Dalam sosialisasi pemerintah berharap para pemangku kepentingan memahami isi regulasi dan kemudian bersedia melaksanakan regulasi seperti yang dikehendaki pemerintah.

Sedangkan konsultasi publik dilakukan sebelum suatu regulasi disusun apalagi ditetapkan berlakunya. Dengan konsultasi publik, perusahaan dan masyarakat telah terlibat sejak awal mempengaruhi penyusunan regulasi. Keterlibatan sejak awal proses ini sangat penting karena nantinya bila regulasi telah berlaku akan berpengaruh terhadap kehidupan dan masa depan perusahaan maupun masyarakat. Pengaruh dan keterlibatan perusahaan serta masyarakat ini merupakan wujud atau realisasi komponen modal sosial yaitu tanggung jawab terhadap kepentingan publik.  Konsultasi publik lebih menjamin lahirnya regulasi CSR yang realistis dan memenuhi harapan semua pemangku kepentingan karena setiap pihak yang terlibat mempengaruhi proses penyusunannya berada pada posisi yang setara satu sama lain. Dan pada akhirnya program CSR yang disusun serta dilaksanakan perusahaan akan lebih terarah secara efektif untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dengan adanya proses saling terlibat dan mempengaruhi tersebut, maka pada dasarnya pemerintah dan masyarakat juga bertanggung jawab terhadap berlangsungnya aktivitas CSR. Dengan kata lain, CSR bukan semata-mata tanggung jawab perusahaan saja. Perusahaan tidak mungkin dan tidak bisa dibiarkan begitu saja menjalankan program-program CSR meskipun inisiatif melaksanakan CSR tersebut datang dari perusahaan. Sebab dalam realitasnya di lapangan, implementasi program-program CSR tetap harus melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat. Bagaimanapun dalam menjalankan aktivitas CSR-nya, perusahaan tetap menghadapi batas-batas kemampuan finansial dan sumber daya ekonomi lain. 

Tanggung jawab tersebut harus ditekankan pemahamannya kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat tidak melupakan tanggung jawab hidupnya sendiri. Pada dasarnya masyarakat tetap bertanggung jawab atas kehidupannya masing-masing, kelestarian lingkungan dan alam tempatnya hidup, tanggung jawab sosial dan ekonomi, serta tanggung jawab sebagai warga negara. Di sini juga sangat perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat tidak dapat dibebankan atau dipindahkan sepenuhnya kepada pundak perusahaan. Masyarakat tetap harus bertanggung jawab untuk meraih serta mewujudkan kesejahteraan individualnya dengan cara belajar dan berkerja keras. Sedangkan pemerintah juga tidak bisa memindahkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat umum kepada perusahaan, dengan menyerahkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan sepenuhnya kepada perusahaan.

Penekanan dan penegasan ini perlu dipahami oleh masyarakat lokal dan pemerintah setempat agar CSR tidak berdampak pada terjadinya degradasi moral berupa kemalasan dan hilangnya rasa tanggung jawab hidup. Sebab CSR bukanlah aktivitas filantropi berdasar belas kasihan. CSR sama sekali tidak bertujuan untuk mendidik dan membiasakan masyarakat lokal hidup menjadi pemalas dengan menggantungkan hidupnya pada bantuan dan belas kasihan dari pihak lain. Sementara mereka pada saat yang sama tidak memiliki rasa tanggung jawab dan inisiatif sendiri untuk memperbaiki kehidupannya.

CSR bukan pula bermaksud mengambil alih tanggung jawab individu masyarakat terhadap pencapain taraf hidup yang lebih baik. Melalui CSR justru diharapkan masyarakat terdidik dan terpacu untuk dapat lebih giat bekerja dan rajin belajar untuk memperbaiki kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian CSR harus menghindari efek nina bobok yang memanjakan masyarakat dan pemerintah. Karena itu, CSR yang berdampak pada pengambilalihan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah, sebenarnya merupakan tindakan pembodohan yang secara tidak langsung telah menjerumuskan masyarakat pada jurang kebodohan dan kemalasan. 

Akibat dari CSR yang merupakan pembodohan ini adalah lemahnya modal sosial dalam masyarakat bersangkutan. Faktor-faktor pembentuk modal sosial berupa kohesifitas, gotong royong, partisipasi, saling percaya, kolaborasi sosial, serta tanggung jawab atas kepentingan publik akan terkikis sedikit demi sedikit tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Dampak negatif tersebut harus dapat dihindari, dan karenanya  penerapan CSR yang salah kaprah menjadi pembodohan juga harus dicegah.

Harapan akhirnya adalah, masyarakat dapat menikmati taraf hidup yang lebih baik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi sebagai buah nyata dari kerja keras dan ketekunan belajar mereka sendiri. Sementara program-program CSR yang dijalankan oleh perusahaan lebih merupakan suplemen tambahan untuk membantu masyarakat memperbaiki kehidupan sosial ekonomi serta menjaga kelestarian lingkungan dan alam.(Sumber: Jurnal Elcendikia Edisi 7 Vol.III No.1 Juni 2008)
 

00.47

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal


Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal

 

Abstrak
CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkai dan harus      tunduk dan mentaati  ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan  kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui  pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.  

A. Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social  responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan  kondisi Indonesia, di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun  belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).  Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan). [1]Survei  ini juga mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada keinginan dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. 
Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).  Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau  fasilitas penanaman modal  (pasal 34 ayat (1) UU PM).  
Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundnag polemik. Pro dan  kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam  Kadin  dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?  Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum.
B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang dan problematika yang muncul tersebut di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah esensi pengaturan  hukum CSR dan implikasinya dalam meningkatkan iklim investasi di Indonesia ?
C. Pembahasan
1. Esensi Pengaturan CSR sebagai Kewajiban Hukum      
 Sebelum membahas  lebih jauh mengenai hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal  perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR. Sampai saat ini belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun kalangan dunia usaha menyadari bahwa  CSR ini amat penting bagi keberlanjutan usaha suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders dalam arti keseluruhan. [2]   Hal tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR yaitu sebagai berikut :
1.       The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as wol as of the local community and society at large”.
1.       John Elkingston’s menegaskan “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interestts of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspectr of theiroperations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”.[3]    

1.       Penjelasan pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “. [4]
2.       Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengertian-pengertian  CSR tampak belum adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan mengenai CSR. Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung jawab sosial pada titik pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan CSR sebagai upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi. Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Namun demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal  mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal   dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkait.         
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan.
Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi.[5]      
Menyikapi kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan conditio sine qua non  bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social engineering”. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum. [6]
Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering). Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh akal.   
Konteks tanggung jawab social (CSR) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan.  Tanggung jawab social berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka. [7]    Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.    
Kondisi Indonesia masih menghendaki adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR masih rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup dan bahkan seringkali terjadi  suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah.  CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi. 
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim Penanaman Modal di Indonesia
Selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal di Indonesia. Penanaman modal dalam  UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal  1 angka 1 dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan dan ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian hukum dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang ditanamkan.       Secara garis besar tujuan dari dikeluarkannya UU PM  tentunya disamping memberikan kepastian hukum juga adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian hukum dan jaminan kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim investasi dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
Suasana kebatinan yang diharapkan oleh pembentuk UU PM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang kewajiban untuk menjalankan CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam maupun asing) memiliki    kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik dalam aspek lingkungan, sosial maupun budaya.
 Penerapan kewajiban CSR sebabagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal 15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. [8]
Ilustrasi yang menggambarkan keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. ”Pengalaman menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada”. [9]
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.
 CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan CSR identik dengan kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR merupakan sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik, khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya mereka (pemerintah) memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR.
Dengan demikian, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban  serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara konsisten oleh perusahaan akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman modal). Anggapan yang mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi patut ditolak. Ada kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke Indonesia wajib mentaati aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia, apapun bentuknya. Indonesia masih menjanjikan bagi investor dalam maupun asing. Sumber daya alam masih merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara-negara sesama ASEAN dalam posisi  Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kondisi tersebut dapat terwujud apabila diimbangi dengan  manfaat dari kesiapan peningkatan mutu infrastrukturt, manusia, pengetahuan dan fisik.
UU PM memberikan jaminan kepada seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [10]   
            CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam menegakkan aturan dan proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. [11]
D. Penutup  
1. Kesimpulan
            Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR setiap pelaku usaha (investor) baik dalam maupun asing  yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan CSR sesuai dengan ketentuan undang-undang  yang berlaku.
2. Saran-saran
a. Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya CSR dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
b. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melakssanakan CSR sebagai suatu kewajiban hukum. 

 


00.40

SDM ( Wirausaha yang Membutuhkan Perekrutan Tenaga Kerja)


PT. Sumber Jaya Membuka Lowongan dan Perekrutan Tenaga Kerja

Diposkan Oleh : Rigi Martusi
NPM : 50408723
Kelas: 4IA16 
Berdasarkan Atas : Tugas Pengantar Bisnis Informatika #
Dosen : ARIMBI KURNIASARI
PT. Sumber Jaya didirikan tahun 1990 sebagai sebuah wirausaha dalam bidang pembuatan alumunium. Awalnya perusahaan ini hanya berjalan disebuah rumah yang yang bernama home industry. Selain itu perusahaan ini juga mempunyai misi yaitu dapat memberi lapangan pekerjaan kepada penduduk desa didekat dengan perusahaan ini. Semakin berjalanya waktu, akhirnya wirausaha kecil-kecilan ini tumbuh berkembang menjadi sebuah perusahaan yang terpercaya diberbagai wilayah di Indonesia sebagai perusahaan yang dapat menghasilkan kualitas alumunium yang berkualitas baik dan terpercaya, sehingga pemerintah menjadikan perusahaan ini sebagai perusahaan tbk pada tahun 2000. Untuk itu, disini kami PT. Sumber Jaya ingin mencari dan memberi kesempatan kerja kepada masyarakat di Indonesia yang ingin bekerja di tempat kami ini. Adapun yang ingin kami cari adalah bagian staff accounting dan staff IT. Syarat pendaftaranya dapat anda lihat berikut ini.
A.                  Proses rekrutmen/seleksi penerimaan pegawai PT. Barron Makmur Banget baik melamar sebagai staff accounting dan staff IT menggunakan sistem tes tertulis, tes kesehatan dan tes wawancara.
B.                  *)Materi Untuk Tes Tertulis Staff Accounting:
- Tes Pengetahuan Umum
- Tes Pengetahuan Bahasa Inggris..
*)Materi Untuk Tes Tertulis Staff IT:
- Tes Pengetahuan Umum
- Tes Pengetahuan Bahasa Inggris.
- Tes Tentang Bahasa Pemrograman.
C.                  Untuk Tes Kesehatan ini biasanya diutamakan kriterianya itu adalah sebagai berikut :
1. Terlihat sehat secara keseluruhan
2. Tidak mempunyai penyakit cacat mental sedikitpun
3. Tidak buta warna
4. Tidak punya penyakit turunan yang membahayakan.
D.                  Terakhir untuk tes wawancara biasanya akan melalui tahap dua kali wawancara yaitu:
1. Waawancara dengan bagian HRD perusahaan ini, dan
2. Wawancara dengan direktur utama perusahaan ini.
E.                  Bagi Peserta pendaftar pegawai perusahaan ini yang lulus akan bersedia ditempatkan di cabang mana saja yang beredar luas diwilayah Indonesia.
F.                          PERSYARATAN
1. UMUM :
* Pendaftaran/lamaran ditujukan kepada PT Sumber JayaKonsultan Rekrutmen,  melalui pos dengan alamat salah satu kota di bawah ini :
- Jakarta : PO Box 4000 JAKARTA 25000, atau
- Bandung : PO Box 9000 BANDUNG 40000, atau
- Solo : PO Box 9000 Solo 60090.
* Lamaran diterima paling lambat tanggal 19 November 2011, cap pos.
* Konsultan Rekrutmen hanya memproses surat lamaran yang dikirim melalui salah satu  alamat PO Box sebagaimana tercantum di atas.
* Tes/seleksi penerimaan dilaksanakan secara berbeda dalam waktu yang berbeda juga di kota Jakarta, Bandung dan Solo.
* Batas Usia :
#S1 : Kelahiran 1987 dan sesudahnya
#D3 : Kelahiran 1985 dan sesudahnya.
* Bidang Studi sesuai dengan jabatan yang dilamar.
* IPK : 2,75 untuk S1/D3 IT dan 2,9 untuk S1/D3 Ekonomi.
* Tidak dipungut biaya apapun untuk mengikuti program rekrutmen/seleksi yang diselenggarakan oleh PT Barron Makmur Banget.
* Hanya Pelamar yang memenuhi persyaratan yang akan dipanggil untuk mengikuti seleksi/tes yang diselenggarakan dengan sistem gugur.
* Tidak ada korespondensi berkaitan dengan rekrutmen ini.
* Keputusan Panitia Seleksi Pegawai perusahaan ini tidak dapat diganggu gugat.

2. SURAT LAMARAN :
Surat lamaran ditujukan kepada Konsultan Rekrutmen dengan mencantumkan Kode Jabatan yang dilamar pada surat lamaran dan pada sampul surat lamaran dengan melampirkan :
* Riwayat hidup ( CV ).
* Foto copy ijasah S1 atau D3 sesuai dengan jabatan yang dilamar dan transkripsi nilai, keduanya telah dilegalisir.
* Foto copy KTP dan akte kelahiran.
* Pas foto terbaru ukuran 4 x 6 sebanyak 3 lembar.
* Melampirkan pernyataan diri di atas meterai Rp. 6.000, tentang :
a. Kesanggupan untuk ditempatkan di cabang di berbagai wilayah di Indonesia.
b. Tidak terlibat dalam penyalah gunaan narkotika dan zat adiktif lainnya.

3. JABATAN DAN BIDANG STUDI YANG DIPERLUKAN.
KODE JABATAN | JABATAN | BIDANG STUDI (S1) DAN (D3)
1. STI | Staff  Teknik Informasi |Teknik Informatika, Sistem Informasi, Ilmu Komunikasi
2. SE | Staff Ekonomi | Akuntansi, Manajemen Ekonomi, Manajemen Akuntansi.