Sebelum ditetapkan menjadi UU, pemerintah telah lama membuat payung hukum ruang cyber melalui usulan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yaitu :
1. Masalah yurisdiksi,
2. Perlindungan hak pribadi,
3. Azas perdagangan secara e-commerce,
4. Azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen,
5. Azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan Hukum Internasional serta azas Cybercrime.
Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah di susun sejak tahun 2001 yang lalu. Waktu yang cukup lama, jika dibanding dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. RUU ITE merupakan hasil kombinasi antara Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi (RUU PTI) dirancang oleh pusat studi hukum teknologi informasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Rancangan Undang-Undang Tandatangan Digital dan Transaksi Elektronik oleh Lembaga Kajian Hukum Dan Teknologi UI. Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) telah mengesahkan undang–undang baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau cyberlaw-nya Indonesia. Cyberlaw adalah aturan hukum atau legalitas yang mengatur semua kegiatan di internet termasuk ganjaran bagi yang melanggarnya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Untuk mengetahui detail dari UU ITE ini diantaranya bisa diakses melalui www.depkominfo.go.id
Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
2. Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3. UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
4. Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37) :
1. Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
2. Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
3. Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
4. Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
5. Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
6. Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
7. Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
8. Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
Cyberlaw di Singapore
The Electronic Transactions Act (ETA) 1998
ETA sebagai pengatur otoritas sertifikasi. Singapore mempunyai misi untuk menjadi poros / pusat kegiatan perdagangan elektronik internasional, di mana transaksi perdagangan yang elektronik dari daerah dan di seluruh bumi diproses. The Electronic Transactions Act telah ditetapkan tgl.10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik di Singapore yang memungkinkan bagi Menteri Komunikasi Informasi dan Kesenian untuk membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan otoritas sertifikasi di Singapura.
Tujuan dibuatnya ETA :
1. Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
2. Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin / mengamankan perdagangan elektronik;
3. Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan menurut undang-undang, dan untuk mempromosikan penyerahan yang efisien pada kantor pemerintah atas bantuan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
4. Meminimalkan timbulnya arsip alektronik yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan elektronik, dll;
5. Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
6. Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat menyurat yang menggunakan media elektronik.
Muatan ETA mencakup :
1. Kontrak Elektronik
Kontrak elektronik ini didasarkan pada hukum dagang online yang dilakukan secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
2. Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki oleh network service provider untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut. Pemerintah Singapore merasa perlu untuk mewaspadai hal tersebut.
3. Tandatangan dan Arsip elektronik
Bagaimanapun hukum memerlukan arsip/bukti arsip elektronik untuk menangani kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum, namun tidak semua hal/bukti dapat berupa arsip elektronik sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Singapore. Langkah yang diambil oleh Singapore untuk membuat ETA inilah yang mungkin menjadi pendukung majunya bisnis e-commerce di Singapore dan terlihat jelas alasan mengapa di Indonesia bisnis e-commerce tidak berkembang karena belum adanya suatu kekuatan hukum yang dapat meyakinkan masyarakat bahwa bisnis e-commerce di Indonesia aman seperi di negara Singapore.
Cyberlaw di Malaysia
The Computer Crime Act 1997
Sebagai negara pembanding terdekat secara sosiologis, Malaysia sejak tahun 1997 telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti UU Kejahatan Komputer, UU Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya. Sementara, RUU Perlindungan Data Personal kini masih digodok di parlemen Malaysia. The Computer Crime Act itu sendiri mencakup mengenai kejahatan yang dilakukan melalui komputer, karena cybercrime yang dimaksud di negara Malaysia tidak hanya mencakup segala aspek kejahatan/pelanggaran yang berhubungan dengan internet. Akses secara tak terotorisasi pada material komputer, adalah termasuk cybercrime. Hal ini berarti, jika saya memiliki komputer dan anda adalah orang yang tidak berhak untuk mengakses komputer saya, karena saya memang tidak mengizinkan anda untuk mengaksesnya, tetapi anda mengakses tanpa seizin saya, maka hal tersebut termasuk cybercrime, walaupun pada kenyataannya komputer saya tidak terhubung dengan internet. Lebih lanjut, akses yang termasuk pelanggaran tadi (cybercrime) mencakup segala usaha untuk membuat komputer melakukan/menjalankan program (kumpulan instruksi yang membuat komputer untuk melakukan satu atau sejumlah aksi sesuai dengan yang diharapkan pembuat instruksi-instruksi tersebut) atau data dari komputer lainnya (milik pelaku pelanggar) secara aman, tak terotorisasi, juga termasuk membuat komputer korban untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pelaku pelanggar tersebut.
Hukuman atas pelanggaran The computer Crime Act :
Denda sebesar lima puluh ribu ringgit (RM50,000) dan atau hukuman kurungan/penjara dengan lama waktu tidak melebihi lima tahun sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut (Malaysia).
The Computer Crime Act mencakup :
1. Mengakses material komputer tanpa ijin
2. Menggunakan komputer untuk fungsi yang lain
3. Memasuki program rahasia orang lain melalui komputernya
4. Mengubah / menghapus program atau data orang lain
5. Menyalahgunakan program / data orang lain demi kepentingan pribadi
Perbandingan UU ITE dilingkup Negara ASEAN
Beberapa hal penting yang menjadi perhatian dalam setiap cyberlaw di negara ASEAN, khususnya yang berhubungan dengan e-commerce antara lain :
A. Perlindungan hukum terhadap konsumen.
Indonesia
UU ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan syarat kontrak.
Malaysia
Communications and Multimedia Act 1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan harus menerima dan menanggapi keluhan konsumen.
Filipina
Electronic Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang berlaku. Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.
B. Perlindungan terhadap data pribadi serta privasi.
Singapura
Sebagai pelopor negara ASEAN yang memberlakukan cyberlaw yang mengatur e-commerce code untuk melindungi data pribadi dan komunikasi konsumen dalam perniagaan di internet.
Indonesia
Sudah diatur dalam UU ITE.
Malaysia dan Thailand
Masih berupa rancangan.
Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.
C. Cybercrime
Sampai dengan saat ini ada delapan negara ASEAN yang telah memiliki cyberlaw yang mengatur tentang cybercrime atau kejahatan di internet yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan termasuk Indonesia melalui UU ITE yang disahkan Maret 2008 lalu.
D. Spam
Spam dapat diartikan sebagai pengiriman informasi atau iklan suatu produk yang tidak pada tempatnya dan hal ini sangat mengganggu.
Singapura
Merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang memberlakukan hukum secara tegas terhadap spammers (Spam Control Act 2007)
Malaysia dan Thailand
Masih berupa rancangan.
Indonesia
UU ITE belum menyinggung masalah spam.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada.
E. Peraturan Materi Online / Muatan dalam suatu situs
Lima negara ASEAN yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura serta Indonesia telah menetapkan cyberlaw yang mengatur pemuatan materi online yang mengontrol publikasi online berdasarkan norma sosial, politik, moral, dan keagamaan yang berlaku di negara masing-masing.
F. Hak Cipta Intelektual atau Digital Copyright
Di ASEAN saat ini ada enam negara yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura yang telah mengatur regulasi tentang hak cipta intelektual. Sementara negara lainnya masih berupa rancangan.
G. Penggunaan Nama Domain
Saat ini ada lima negara yaitu Brunei, Kamboja, Malaysia, Vietnam termasuk Indonesia yang telah memiliki hukum yang mengatur penggunaan nama domain. Detail aturan dalam setiap negara berbeda-beda dan hanya Kamboja yang secara khusus menetapkan aturan tentang penggunaan nama domain dalam Regulation on Registration of Domain Names for Internet under the Top Level ‘kh’ 1999.
H. Electronic Contracting
Saat ini hampir semua negara ASEAN telah memiliki regulasi mengenai Electronic contracting dan tanda tangan elektronik atau electronik signatures termasuk Indonesia melalui UU ITE. Sementara Laos dan Kamboja masih berupa rancangan. ASEAN sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas waktu bagi setiap negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan tanda tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce di ASEAN.
I. Online Dispute resolution (ODR)
ODR adalah resolusi yang mengatur perselisihan di internet.
Filipina
Merupakan satu-satunya negara ASEAN yang telah memiliki aturan tersebut dengan adanya Philippines Multi Door Courthouse.
Singapura
Mulai mendirikan ODR facilities.
Thailand
Masih dalam bentuk rancangan.
Malaysia
Masih dalam tahap rancangan mendirikan International Cybercourt of Justice.
Indonesia
Dalam UU ITE belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai perselisihan di internet.
Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat penting menyangkut implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan e-commerce.
KESIMPULAN
Di lihat dari berbagai aspek perbandingan diatas, maka menurut saya ada beberapa hal penting yang tidak dimiliki didalam UU ITE Indonesia, diantaranya yaitu :
1. Masalah Spam.
2. Masalah resolusi yang mengatur perselisihan di internet.
3. Masalah virus dan worm komputer, terutama untuk pengembangan dan penyebarannya.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan / revisi UU untuk menambahkan pasal - pasal yang berkaitan dengan ketiga masalah diatas. Mengapa perlu dilakukan revisi terhadap UU ITE Indonesia ? Menurut pandangan saya dari kacamata seorang IT, penambahan pasal - pasal yang berhubungan atau yang mengatur ketiga masalah tersebut berguna untuk pengembangan kegiatan e - commerce. Selain masalah diatas, pemerintah juga harus memberi perhatian lebih terhadap pasal yang disebut - sebut sebagai pasal krusial yaitu pasal 27 - 29 khusunya pada pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Dikhawatirkan pasal 27 ayat 3 ini menghalangi kebebasan berdiskusi dan keterbukaan informasi.
Tugas Pemrograman Jaringan
-
*Nama : Rigi Martusi*
*Kelas : 4IA16*
*NPM : 50408723*
*Tugas D1-1*
import java.net.*;
public class getIP{
public static void main(String args[]) throws ...
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar